|
Sumber @Google.com |
Agustus 2, 2019 13.20 WIB
Jagat maya Indonesia
baru-baru ini dihebohkan kisah seorang lulusan universitas ternama yang tidak
puas ditawari gaji Rp 8 juta saat wawancara kerja. Walaupun tak jelas kebenaran
sumbernya, kisah itu viral dan mencatat angka lebih dari 5.000 penelusuran di
Google per 26 Juli 2019, sekaligus menenggelamkan berita tentang turunnya
ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Rencana pemerintah untuk
memajaki pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan seharusnya lebih
menyedot perhatian karena berdampak pada kelompok pekerja dengan bayaran
minimalis (sesuai Upah Minimum Regional).
Menurut kami, tanggapan
masyarakat yang begitu besar ini hanyalah puncak dari gunung es permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia.
Masalah ini utamanya terkait
ketiadaan otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dan iklim
ketenagakerjaan yang sangat berorientasi pada pasar.
Standar gaji
Menyimak komentar-komentar di
media sosial, tampak bahwa gaji merupakan wacana yang sensitif, tabu, dan patut
dirahasiakan di Indonesia.
Pemahaman soal gaji tidak
dapat dilepaskan dari konteks tingginya pengangguran dan elemen budaya yang
kental, seperti soal arogansi dan konsep bersyukur. Budaya orang Indonesia
(baca: Jawa) yang kental dengan sikap nrimo nampaknya berperan signifikan dalam
hal ini.
Di saat yang sama, sedikit
sekali informasi publik yang bisa diakses terkait gaji pekerja. Data yang
tersedia hanya dari Biro Pusat Statistik atau data riset universitas yang
menampilkan rerata gaji pekerja. Data-data ini sayangnya tidak memisahkan
antara jenis pekerjaan yang beragam berikut tingkat keahlian maupun pengalaman.
Sebetulnya, ada sumber data
lain dari perusahaan swasta penyedia jasa pengelolaan pekerja seperti Kelly
Services yang berbasis di Singapura atau Robert Walters yang berbasis di
Inggris yang memiliki acuan gaji pekerja Indonesia untuk berbagai jenis
pekerjaan di beberapa sektor.
Namun demikian, data-data
diatas tidaklah ideal untuk dijadikan panduan untuk menentukan gaji pekerja
karena ia merupakan data survei yang tidak mengenal konsep kelayakan dari sisi
pekerja dan tidak memiliki kekuatan dari segi hukum.
Di negara maju seperti
Australia, standar gaji pekerja berlaku lintas pekerjaan dan lintas industri
serta ditetapkan lewat standar nasional yaitu National Employment Standards
(Standar Pekerjaan Nasional). Standar ini berisi sepuluh poin yang memuat di
antaranya jumlah jam kerja maksimal per minggu, dan ketentuan tentang cuti dan
pemecatan. Di sana, gaji seorang teknisi komputer di rumah sakit, misalnya,
akan berada di rentang yang sama dengan gaji posisi serupa di perusahaan
otomotif. Selain itu, Australia juga memiliki sistem enterprise agreement atau
perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme Perjanjian Kerja Bersama di
Indonesia. Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh Fair Work
Commission (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang
menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan
sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.
Ketiadaan standar yang
spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik
ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal. Selain itu, pandangan
masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur,
nrimo, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan
tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja.
Tidak heran, banyak praktik
ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal status
kepegawaian yang rentan manipulasi, gaji tidak dibayar, hingga fakta bahwa
pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali dalam setahun sementara di negara maju
sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).
Orientasi pasar
Ketiadaan standar ini menurut
kami diperparah dengan kuatnya roh neoliberalisme dalam iklim ketenagakerjaan
kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk “bersaing” lewat mekanisme
pasar yang minim intervensi pemerintah. Keberadaan standar yang berkekuatan
hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya.
Tak sedikit pengguna media
sosial dan juga pakar yang berkomentar bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan
keahlian yang dimiliki pekerja.
Dari penelusuran kami, kata
kunci yang banyak disebut adalah “skill” (kemampuan), “kompetensi”,
“kapasitas”, dan “kontribusi untuk perusahaan”.
Hal ini seirama dengan konsep
pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot
yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan
bisnis, tetapi tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka terhadap isu
ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat.
Pendidikan neoliberal sangat
menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan
meminggirkan solidaritas sosial dan empati–karakter sosial yang justru
masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga.
Ini diperburuk pula oleh
logika human capital (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara pekerja
unggul dan tidak unggul hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan
kesejahteraan pekerja.
Konsep ini menegaskan bahwa
besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa
menunjukkan “kualitas” dirinya.
Sementara, di antara para
pakar yang bersuara di media arus utama belum ada yang mengungkit persoalan
ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat Upah Minimum Kabupaten/Kota
dan Upah Minimum Provinsi.
Langkah ke depan
Menurut kami, yang pertama
perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji
nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan
pemberi kerja di Indonesia.
Penentuan gaji pekerja perlu
diatur dengan mempertimbangkan apa saja hak-hak pekerja, termasuk besaran
minimum yang menjamin kelayakan hidupnya, berdasarkan standar sosial yang terus
berubah–yang sering disebut sebagai living wage atau upah hidup layak.
Dengan adanya standar gaji
nasional yang mencakup beragam jenis pekerjaan, para pekerja memiliki landasan
ketika menuntut jumlah gaji di tertentu.
Nantinya, persoalan gaji tak
lagi hal tabu. Di belahan dunia lain, pekerja justru didorong untuk meminta
kenaikan gaji. Ini sejalan dengan pendapat ahli bahwa pertumbuhan gaji
berdampak positif untuk perekonomian. Barangkali, sifat-sifat pekerja milenial
yang penuh percaya diri akan berkontribusi positif pada upaya ini.
Kedua, para pakar dan
praktisi lintas bidang perlu memberikan saran produktif untuk perbaikan kelas
pekerja di Indonesia dan tidak larut dalam pembentukan opini oleh media yang
cenderung melindungi kepentingan bisnis demi pemasukan.
Ada satu hikmah dari kisah
8-juta-rupiah ini, yaitu desakan pada pemerintah untuk membuat standarisasi
gaji para pekerja yang komprehensif dan menyediakan mekanisme yang lebih kuat
dalam melindungi hak-hak pekerja.
Agar persoalan yang kini
nampak tabu dan gaib dapat samar-samar tersingkap, kemudian nyata di masa
depan.
#nyesek….
#sumber HR WAGroup Jaktim