Embun pagi merayap hilang berbarangan dengan
jalannya nenek Kiki di jalan berliku nan terjal. Warna putih panjang
menyelimuti kepalanya. Membungkuk dia berjalan serta garis-garis keriput wajah
dan dua gigi yang tersisa membuat orang menjadi ngeri melihat dia. Tapi hari
ini rumahnya di ujung kampung ramai didatangi massa. Semua barangnya hangus
dibakar. Hanya tinggal bongkahan hitam yang tersisa.
Kemarahan massa meluap ketika salah seorang dari
warga yaitu Dedi melihat ada sepasang anak muda yang menginap dirumahnya.
Memang, warga sering melihat adanya anak muda yang sering datang menghampiri
rumahnya. Apa lagi jika malam minggu tiba. Berbagai jenis roda dua mangkal di
halaman rumahnya. Dari itulah Massa marah sehingga membumihanguskan rumah Nenek
Kiki, sekaligus dengan isi-isinya.
Nenek Kiki memang cuma tinggal sendirian.
Suaminya, Kakek Nurdin meninggal tiga tahun lalu. Pasangan ini tak memiliki
anak. Sehari-hari rumah tua itu tampak sunyi dan tak terurus serta remang.
Halaman rumah mereka yang cukup luas, sejak Kakek Nurdin mangkat ditumbuhi
rumput-rumput liar. Cuma sebidang tanah yang mungkin luasnya 2 x 3 meter yang
dibersihkan oleh Nenek Kiki untuk menanami rempah-rempah. Di sisa hidupnya
untuk makan sehari-hari orang tua ini hanya berharap pembagian hasil kebun dari
salah seorang saudagar di kampungnya.
Nenek Kiki ini oleh warga sudah lama disangkakan
sebagai Germo (Bos PSK). Dulu, pernah ada warga yang melihat nenek
Kiki menerima wanita seksi masuk kedalam rumahnya. Ia mempersilahkan wanita
seksi untuk masuk ke dalam rumahnya. Dengan rengut wajah yang manis nenek Kiki
menerima kedatangan mereka. Dari situ beredar cerita bahwa nenek yang suka
merokok ini sebagai germo. Warga sekampung pun menjadi percaya.
Ditambah lagi dengan seringnya nenek Kiki belanja menggunakan uang biru bahkan
merahan.
Semasa dia hidup, anak-anak yang bertepatan
berpapasan dengannya merasa jijik dan menghindar bahkan mengambil jarak karena
dorongan dari orang tua mereka. Seakan-akan nenek Kiki bagaikan makh luk yang
datang dari planet ke tujuh. Prilaku tersebut berawal dari cerita-cerita
itu. Di rumah mereka, para orang tua menceritakan tentang desas-desus itu.
Cerita yang berawal dari satu orang kini seolah-olah menjadi momok. Termasuk
toko masyarakatpun percaya akan cerita itu. Bahkan, pernah satu hari minggu, di
musholla secara khusus mengadakan doa untuk menjauhkan warga kampung dari
kegiatan tersebut.
Nenek Kiki, memang telah menjadi momok yang di
hindari bagi masyarakat. Mereka menyamakan Nenek Kiki dengan tokoh “Mucikari”
di film sex. Hanya tetangga atau keluarga terdekat yang berani masuk ke halaman
rumahnya. Bahkan tetangga dan famili juga tidak terlalu memperdulikannya karena
takut akan caman dari masyarakat.
Kampung itu seketika menjadi ramai dengan
kemarahan massa. Asap masih mengepul dari sisa-sisa rumah yang terbakar. Massa
berkerumun di halaman rumah nenek Kiki. Lainnya berdiri di jalanan. Mereka
tidak bergabung dengan peristiwa itu, malahan yang lain bergembira. Pikir
mereka, dengan dibakarnya rumah nenek Kiki dan menghabisi semua isi rumah
“mucikari” itu, kampung mereka akan bebas dari perbuatan sex. Hari itu hanya
Dewi yang tidak kelihatan.
Ketika rumah sudah rata dengan tanah dan tinggal
bongkahan-bongkahan hitam sisa kayu-kayu yang terbakar, sautan kesenangan warga
terdengar kencang seakan membakar seluruh emosi yang ada. Tak terlihat lagi
kumpulan bata merah yang berdiri tegap. Semua telah berbaris rata di tanah.
Hanya warna hitam bekas makanan api yang tersisa. Tak ada barang yang berhrga
sedikitpun yang masih utuh, semuanya hangus dilahap sijago merah.
Ada rasa takut yang bercampur gembira di kalangan
warga. Tapi, yang tidak tahan melihat aksi tersebut menjauh. Sekitar 5 orang
laki-laki yang diberi tugas oleh pemerintah kampung sebagai Hansip yang berani
mengais-ngais sisa-sisa kebakaran rumah itu. Sebelum mereka masuk di antara
sisa-sisa kebakaran itu, tokoh masyarakat mendoakan mereka agar mereka
dijauhkan dari perbutan seperti itu.
Perempuan tua itu kini telah diusir dari kampung
itu dan ia pun berada di desa yang jauh. Hingga, tidak ada yang tahu dimana dia
sekarang berada. Tiada keluarga yang meratapinya. Tiada tetangga yang
memperdulikannya. Polisi pun muncul ketika semua sudah hampir berakhir. Tiada
satupun warga yang ditangkap. Pemerintah kampung itu tampaknya sudah memberi
keterangan kepada para polisi mengenai kejadian itu. Lokasi kebakaran itupun
tidak diberi police line, sebagaimana biasanya peristiwa-peristiwa
kebakaran lainnya. Kebakaran bagi warga dan diaminkan oleh polisi adalah
tindakan yang sudah tepat. Apalagi, di lokasi kebakaran itu, Tokoh masyarakat
hadir dan tampak memberi alasan teologisnya.
Seminggu kemudian
Seminggu kemudian dari pembakaran rumah nenek
Kiki dan pengusiran “mucikari” itu, tiba-tiba warga digemparkan dengan kegiatan
sex bebas di rumah pojok kampung. Bahkan pesta tersebut sangat besar.
Kegiatan tersebut membuat warga teringat
peristiwa pembakaran rumah nenek Kiki dan pengusirannya. ”Kenapa hal seperti
ini terjadi? Padahal warga sudah merasa aman dari kegiatan ini,” begitu
komentar beberapa warga.
“Saya duga, masih ada germo hasil didikan nenek
Kiki yang diturunkan kepada seseoarang. Tapi siapakah dia?” ujar mang Malik.
“Siapa, ya?” yang lainnya menyahut.
“Ehmmm…” mereka terdiam sejenak.
“Tunggu. Sejak pembakaran rumah nenek Kiki,
sampai sekarang, Dewi tak pernah muncul lagi di kampung. Bukankah Dewi itu yang
dekat dengan nenek Kiki. Dia kan masih family dekat nenek Kiki?” kata mang
malik.
“Di mana dia sekarang?” yang lain bertanya.
“Kalau tidak salah, Dewi tinggal di rumah Kosong
tidak jauh dari rumah nenek Kiki?”
“Oh, iya. Benar. Pasti didikan nenek Kiki
diturunkan kepadanya. Dan, dialah germo baru yang ada di kampung kita”
kata bik Asna, yang dari tadi mengikuti percakapan itu.
“Maksudnya, Dewilah sekarang yang menjadi
mucikari baru di kampung ini?” tanya mang Malik meminta kepastian
teman-temannya.
“Kalau bukan dia siapa lagi!” tegas bik Asna.
”Betul juga……” sahut yang lainnya.
Tidak hitung jam, kesimpulan itupun langsung
menjadi pendapat umum warga sekampung. Cepat sekali beredar cerita itu. Dan,
ini langsung menyulut kemarahan massa. Mereka seolah-olah menemukan musuh baru
yang harus segera dilenyapkan.
Sekelompok laki-laki datang ke Tokoh masyarakat
untuk meminta pertimbangannya mengenai kesimpulan mereka itu. Warga lain
menyusul kemudian. Tapi mereka hanya di luar rumah tokoh masyarakat untuk
menunggu hasil percakapan tersebut. Warga yang datang itu tampak sudah
bersiap-siap mencari Dewi. Parang, pisau dapur, tombak, dan benda apa saja yang
bisa memukul di tangan masing-masing orang. Bahkan ada dari warga yang membawa
galon berisi bensin. Mereka seperti sedang bersiap-siap maju ke medan perang
melawan musuh.
Percakapan perwakilan warga dengan tokoh
masyarakat selesai. Mang Malik sebagai utusan yang akan mengumumkannya kepada
warga yang sudah menunggu tak sabar di halaman rumah tokoh masyarakat itu.
“Saudara-saudara, kami sudah bercakap-cakap
dengan para tokoh masyarakat dan ustad perihal adanya germo baru di kampung
kita ini. ustad menyetujui tindakan kita untuk segera mengeksekusi Dewi,
sebagai germo di kampung ini!”
Sorakan warga pun menggema menyambut pernyataan
mang Malik. “Usir dia! Usir Dewi! Jangan kasih ampun lagi, Lenyapkan germo di
kampung kita!” warga berteriak histeris sambil mengacungkan benda-benda tajam
yang mereka bawa.
Mang Malik pun bertindak seperti panglima perang.
Dibawah komandonya massa bergerak mencari Dewi di rumah kosong itu. Sesampai di
rumah mereka langsung mengelilingi rumah tersebut yang sudah dipastikan Dewi
ada didalamnya. Massa berteriak memanggil nama Dewi. Ada yang sudah siap
menyiram sekeliling rumah dengan Bensin. Beberapa laki-laki lainnya secara
hati-hati masuk ke dalam rumah.
“Dewi tidak ada di dalam,” kata seorang laki-laki
yang ikut masuk ke dalam rumah setelah mereka memeriksa seisinya. Hanya ada
ranjang rapi yang terlentang di dalam.
“Bakar saja rumah ini!” teriak warga.
“Iya, bakar saja! Bakar bakar bakar” sambut yang
lain.
Warga yang membawa gallon berisi bensin sudah
tahu tugasnya. Ia pun segera menyiram dinding dan atap rumah itu. Tak berapa
lama, ketika api disulut, rumah yang dindingnya terbuat dari kayu dan bata
merah itu terbakar. Asap hitam mengepul ke udara. Nyala api yang tiba-tiba
membesar mengusir sekelompok burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon
kopi di sekitarnya. Warga berteriak histeris, senang. Seperti ritual merayakan
kemenangan warga mengeilingi rumah yang sementara terbakar itu. Mereka terus
berteriak.
Sementara “ritual” berjalan, Surya, komandan
Hansip kampung melaporkan kepada mang Malik, bahwa mereka melihat Dewi berada
di dekat kali yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat mereka berada
sekarang.
“Dewi sedang berada di kali itu. Mari kita ke
sana!” kata Surya.
Massa pun bergerak. Mereka berlari dan terus berteriak.
Tak lama kemudian mereka mendapati Dewi dengan pedang di tangan kanannya sedang
ketakutan. Agaknya dia sudah tahu bahwa dia sedang dicari massa. Tapi, Dewi
tidak melarikan diri. Dia berdiri di dekat kali itu. Masih tampak rumput dan
beberapa pohon kecil yang baru dia potong.
Jarak massa dengan Dewi tinggal kurang lebih 5
meter. Mereka hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang airnya mengalir dari kali
itu. Untuk menuju ke tempat Dewi bediri massa harus melewati jalan setapak.
Dewi tampak ketakutan sekali. Tapi ia tidak
bicara. Orangnya memang pendiam. Tapi dia dalam keadaan waspada. Pedang di
tangannya di arahkan ke tanah. Sementara tangan kirinya tampak memegang kayu
panjang berwarna hijau. Dengan ketakutan Dewi mengangkat kayu itu dan
mengarahkan ke warga yang menghapirinya. Seolah ia ingin mengusir warga yang
datang menghampirinya dengan mengangkat kayu hijaunya.
Tapi massa tidak takut atau tidak mau peduli.
Mereka terus berteriak dan makin mendekat. Tokoh masyarakat yang berada di
baris paling depan mencoba berkomunkasi dengan Dewi.
“Dewi, kamu harus pertanggung jawabkan
perbuatanmu kepada kami! Cepat serahkan dirimu!”
Meski warga telah berteriak-teriak marah, tapi
Dewi tetap tidak bicara. Dalam keadaan takut dia masih berusaha “bicara” dengan
mengacungkan kayu hijaunya kepada warga. Ia pegang erat kayu itu. Sambil
sesekali dia menatap ke kali itu. Dengan mata yang melotot ia memandang ke
warga.
Tapi belum satupun massa yang mengerti isyarat
Dewi. Mereka bahkan menganggap Dewi orang sinting atau idiot. Massa pun semakin
marah dan hendak mengejar dia. “Bunuh saja dia kalau tidak mau mengakui
perbuatannya. Mari kita tangkap dia. Lenyapkan dia dari kampung kita!!” suara
kemarahan itu terdengar dari antara massa.
“Benar. Kita bunuh saja dia!” Sambut massa yang
lain.
Lima orang lelaki berbadan kekar melompat
melewati jalan setapak itu. Dengan sikap hati-hati mereka mencoba mendekati
Dewi. Tombak dan parang di tangan mereka. Dewi yang melihat gerakan mereka
semakin ketakutan. Tapi dia tidak lari. Pedang yang dia pegang ditancapkan ke
tanah. Kayu hijau itupun tetap dipegangnya. Para lelaki yang akan menangkap
Dewi tidak mendapatkan perlawanan. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan Dewi.
Dewi pun pasrah. Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha memegang kayu hijau
itu.
Merekapun berhasil membengkuk Dewi. Massa yang
lain ingin Dewi segera dieksekusi. Tapi tokoh masyarakat menolaknya. “Eksekusi
nanti akan kita lakukan di kampung, di hadapan ustad dan para pemerintah
kampung!” tegasnya kepada massa.
Massa segera menggiring Dewi ke kampung untuk
dieksekusi. Seperti penjahat kelas kakap, Dewi diikat dengan rantai, mulutnya
dibungkam dengan kain. Di sepanjang perjalanan massa berteriak-teriak senang
seperti baru mendapat hewan buruan. Sampai memasuki kampung, sepanjang jalan
mereka terus berteriak. Di kampung, para perempuan dan anak-anak di pinggir
jalan menyaksikan dengan penuh perhatian arak-arakan massa itu. Dewi sebagai
terdakwa ditarik seperti hewan. Sesekali wajahnya tampak kesakitan ditarik dan
dicaci oleh massa. Namun, wanita yang berambut panjang dan berbaju seksi itu
sepanjang jalan hanya diam saja. Kayu hijaunya masih tetap dipegangnya.
Di sebuah tanah kampung massa berhenti. Di situ
Dewi akan dieksekusi. Rencananya dia akan diusir secara tidak hormat. Menurut tokoh
masyarakat Dewi akan diikat di pohon pinang yang tertancap di tempat itu. Pohon
pinang ini waktu tujubelasan dipakai untuk lomba panjat pinang warga sekampung.
Seketika warga sekampung, dari anak-anak sampai kakek nenek telah berkumpul di
tanah itu.
Sementara warga sibuk dengan persiapan untuk
mengeksekusi Dewi, ustad dan pemerintah kampung datang ke lokasi itu. Mereka
tampak terlibat percakapan serius dengan tokoh masyarakat. Ketika tokoh
masyarakat bicara, ustad dan pemerintah kampung tampak mengangguk-angguk.
Begitu sebaliknya. Agaknya, percakapan itu tinggal membicarakan teknis
eksekusi, yaitu diusir secara tidak hormat. Soal alasan eksekusi mungkin
menurut mereka sudah jelas, bahwa Dewi bersalah karena telah mengadakan
kegiatan sek. Alasan ini sama dengan yang mereka pakai kepada nenek Kiki
seminggu yang lalu.
Dewi, kini siap diesekusi. Tubuhnya telah
ditelanjangi di pohon pinang. Warga yang mengitari tanah kampung itu tampak
tegang menunggu waktu eksekusi.
Dan, setelah tokoh masyarakat selesai bercakap-cakap
dengan ustad dan pemerintah kampung, eksekusipun akan segera dimulai. Menyambut
eksekusi itu, pemerintah kampung menyampaikan beberapa kata.
“Saudara-saudara. Sudah ada dua kali kegiatan sek
di kampung kita ini. Pelakunya sudah kita ketahui. “mucikari”, nenek Kiki sudah
kita lenyapkan. Tapi masih juga ada kegitan sek. Ternyata, ilmu germo telah
diturunkan kepada perempuan seksi yang sebentar lagi kita akan usir ini, yaitu
Dewi…”
“Bakar dia! Lenyapkan mucikari dari kampung
kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.
“Tidak, kita akan mengusir dia. Tidak boleh ada
mucikari di kampung ini,” sambung pemerintah kampung. “Hari ini, kita akan
mengusir secara tidak hormat mucikari yang telah meresahkan kampung kita. Ini
menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mucikari. Tidak ada yang bisa
lolos…”
“Huh…” sahutan warga yang tidak setuju dengan
keputusan tersebut.
Setelah pemerintah kampong selesai berpidato,
ustad diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa
setan, seperti mucikari. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, robbana
atina fiddun ya hasanah wa filahiroti hasanah wa kina azabannnar Amin.”
Dewi pun dengan mengelurkan air mata berjalan
menjauh keluar dari kampung tersebut. Tak tahu mau menuju kemana hanya berharap
pertolongan seseorang yang datang. Hendak hati ingin mengambil pakaian untuk
pergi jauh dari kampung itu. Namun, ketika sampai dirumahnya tak ada sisa yang
ada. Semua telah rata dengan tanah. Hanya warna merah menyala yang ada.
Kaki pun melangkah pergi jauh menuju arah yang
tak pasti. Terdengar sautan dari sudut pohon besar. Dewipun kaget, ternyata
hanya salah seorang warga yang memanggilnya. “Tunggu sebentar, ini mungkin bisa
membantu kamu untuk kedepan” kata seorang warga tersebut. Ia memberikan
bungkusan merah kecil ke Dewi.
“Terimah kasih banyak” ujar Dewi.
“Iya sama-sama, pergilah sebelum ada yang
melihatmu” sahut warga tersebut.
“Masih ada juga yang peduli dengan kondisi diriku
ini, sekali lagi terimah kasih banyak ya” tutur Dewi sambil mengalirkan air
mata.
Tak lama kemudian warga tersebut hilang seakan
ditelan bumi. Tak tahu kemana arahnya. Dewi ketakutan dengan cepatnya hilang
warga tersebut. Ia pun melangkahkan kakinya dengan cepat.
Ia tak tahu apa isi bungkusan merah itu, tapi
tetap ia terima dan membawanya pergi. Hingga kini warga tak ada yang tahu
dimana Dewi berada. Apakah ia masih hidup atau sudah tiada diatas muka bumi
ini. Hanya Allah yang tahu.
Setelah Kepergian Mucikari
Hari-hari warga terasa damai, aman nan tentram
dengan kepergian dua mucikari. Wargapun semakin akrab satu sama lain. Dengan
perginya dua mucikari itu warga merasa senang karena kampung mereka bebas dari
kegitan sek. Tapi ada beberapa benak di warga yang merasa kasihan dan prihatin
dengan perilaku mereka sendiri. Seakan-akan mereka menyesal dengan sikap mereka
terhadap dua mucikari yang telah diusir dari kampung mereka.
Warga berfikir, seandainya mereka yang diusir
seperti itu, bagaimanakah?? Mau pergi kemanakah?? Kan penghasilan sehari-hari
hanya dari kampung ini saja.
“Tapi apa hendak dikata, itulah takdir. Kenapa
juga ia mau menjadi mucikari, setiap perbuatan pasti ada balasannya” sahut mang
Malik yang menghancurkan lamunan warga.
“iya juga ya. Kenapa juga ia mau menjadi
mucikari, coba kalau ia tidak jadi mucikari, pasti ia masih ada di kampung kita
ini. kan dah tahu kalau perbutan itu dosa tapi masih aja dilakoni” sambut
warga.
“Nah gitu kan enak, berfikir aja positif, jangan
pernah menyesali perbuatan kita dengan hanya meratapi, tapi lakukanlah yang
terbaik” ujar mang Malik.
“Itu adalah cerminan buat kita, jika melakukan
perbutan keji maka akan ada balasannya, jika tidak sekarang, nanti atau kelak
akan dibalas” mang Malik menambahkan.
Wargapun legah dengan ungkapan mang Malik
tersebut, mereka kini tak mau lagi memikirkan kejadian yang telah menimpa
kampung mereka. Mereka menjadikan semua ini sebagai pelajaran bagi diri mereka
masing-masing. Cukup dua orang saja yang menjadi korban, jangan sampai menambah
lagi.
Kehidupan wargapun hingga kini baik-baik saja,
tak ada lagi perbutan-perbutan yang berbaur dengan sek. Peribadatanpun semakin
hari semakin meningkat beriringan dengan berputarnya waktu. Hari menjadi
minggu, minggupun berganti bulan, bulanpun hilang menjadi tahun. Perubahan
warga menjadi drastic. Masjid yang biasanya diisi penuh dengan satu shap,
kini lebih banyak lagi. Warga semakin hari semakin tekun untuk melakukan
ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah.
Karena mereka sadar, dengan mendekatkan diri kepada
Allah maka perbutan-perbutan tercela akan hilang dari dirinya. Mereka
tahu sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang merubah nasibnya.