Wednesday, July 31, 2019

”Mucikari”


Embun pagi merayap hilang berbarangan dengan jalannya nenek Kiki di jalan berliku nan terjal. Warna putih panjang menyelimuti kepalanya. Membungkuk dia berjalan serta garis-garis keriput wajah dan dua gigi yang tersisa membuat orang menjadi ngeri melihat dia. Tapi hari ini rumahnya di ujung kampung ramai didatangi massa. Semua barangnya hangus dibakar. Hanya tinggal bongkahan hitam yang tersisa.
Kemarahan massa meluap ketika salah seorang dari warga yaitu Dedi melihat ada sepasang anak muda yang menginap dirumahnya. Memang, warga sering melihat adanya anak muda yang sering datang menghampiri rumahnya. Apa lagi jika malam minggu tiba. Berbagai jenis roda dua mangkal di halaman rumahnya. Dari itulah Massa marah sehingga membumihanguskan rumah Nenek Kiki, sekaligus dengan isi-isinya.
Nenek Kiki memang cuma tinggal sendirian. Suaminya, Kakek Nurdin meninggal tiga tahun lalu. Pasangan ini tak memiliki anak. Sehari-hari rumah tua itu tampak sunyi dan tak terurus serta remang. Halaman rumah mereka yang cukup luas, sejak Kakek Nurdin mangkat ditumbuhi rumput-rumput liar. Cuma sebidang tanah yang mungkin luasnya 2 x 3 meter yang dibersihkan oleh Nenek Kiki untuk menanami rempah-rempah. Di sisa hidupnya untuk makan sehari-hari orang tua ini hanya berharap pembagian hasil kebun dari salah seorang saudagar di kampungnya.
Nenek Kiki ini oleh warga sudah lama disangkakan sebagai Germo (Bos PSK). Dulu, pernah ada warga yang melihat nenek Kiki menerima wanita seksi masuk kedalam rumahnya. Ia mempersilahkan wanita seksi untuk masuk ke dalam rumahnya. Dengan rengut wajah yang manis nenek Kiki menerima kedatangan mereka. Dari situ beredar cerita bahwa nenek yang suka merokok ini sebagai germo. Warga sekampung pun menjadi percaya. Ditambah lagi dengan seringnya nenek Kiki belanja menggunakan uang biru bahkan merahan.
Semasa dia hidup, anak-anak yang bertepatan berpapasan dengannya merasa jijik dan menghindar bahkan mengambil jarak karena dorongan dari orang tua mereka. Seakan-akan nenek Kiki bagaikan makh luk yang datang dari planet ke tujuh.  Prilaku tersebut berawal dari cerita-cerita itu. Di rumah mereka, para orang tua menceritakan tentang desas-desus itu. Cerita yang berawal dari satu orang kini seolah-olah menjadi momok. Termasuk toko masyarakatpun percaya akan cerita itu. Bahkan, pernah satu hari minggu, di musholla secara khusus mengadakan doa untuk menjauhkan warga kampung dari kegiatan tersebut.
Nenek Kiki, memang telah menjadi momok yang di hindari bagi masyarakat. Mereka menyamakan Nenek Kiki dengan tokoh “Mucikari” di film sex. Hanya tetangga atau keluarga terdekat yang berani masuk ke halaman rumahnya. Bahkan tetangga dan famili juga tidak terlalu memperdulikannya karena takut akan caman dari masyarakat.
Kampung itu seketika menjadi ramai dengan kemarahan massa. Asap masih mengepul dari sisa-sisa rumah yang terbakar. Massa berkerumun di halaman rumah nenek Kiki. Lainnya berdiri di jalanan. Mereka tidak bergabung dengan peristiwa itu, malahan yang lain bergembira. Pikir mereka, dengan dibakarnya rumah nenek Kiki dan menghabisi semua isi rumah “mucikari” itu, kampung mereka akan bebas dari perbuatan sex. Hari itu hanya Dewi yang tidak kelihatan.
Ketika rumah sudah rata dengan tanah dan tinggal bongkahan-bongkahan hitam sisa kayu-kayu yang terbakar, sautan kesenangan warga terdengar kencang seakan membakar seluruh emosi yang ada. Tak terlihat lagi kumpulan bata merah yang berdiri tegap. Semua telah berbaris rata di tanah. Hanya warna hitam bekas makanan api yang tersisa. Tak ada barang yang berhrga sedikitpun yang masih utuh, semuanya hangus dilahap sijago merah.
Ada rasa takut yang bercampur gembira di kalangan warga. Tapi, yang tidak tahan melihat aksi tersebut menjauh. Sekitar 5 orang laki-laki yang diberi tugas oleh pemerintah kampung sebagai Hansip yang berani mengais-ngais sisa-sisa kebakaran rumah itu. Sebelum mereka masuk di antara sisa-sisa kebakaran itu, tokoh masyarakat mendoakan mereka agar mereka dijauhkan dari perbutan seperti itu.
Perempuan tua itu kini telah diusir dari kampung itu dan ia pun berada di desa yang jauh. Hingga, tidak ada yang tahu dimana dia sekarang berada. Tiada keluarga yang meratapinya. Tiada tetangga yang memperdulikannya. Polisi pun muncul ketika semua sudah hampir berakhir. Tiada satupun warga yang ditangkap. Pemerintah kampung itu tampaknya sudah memberi keterangan kepada para polisi mengenai kejadian itu. Lokasi kebakaran itupun tidak diberi police line, sebagaimana biasanya peristiwa-peristiwa kebakaran lainnya. Kebakaran bagi warga dan diaminkan oleh polisi adalah tindakan yang sudah tepat. Apalagi, di lokasi kebakaran itu, Tokoh masyarakat hadir dan tampak memberi alasan teologisnya.
Seminggu kemudian
Seminggu kemudian dari pembakaran rumah nenek Kiki dan pengusiran “mucikari” itu, tiba-tiba warga digemparkan dengan kegiatan sex bebas di rumah pojok kampung. Bahkan pesta tersebut sangat besar.
Kegiatan tersebut membuat warga teringat peristiwa pembakaran rumah nenek Kiki dan pengusirannya. ”Kenapa hal seperti ini terjadi? Padahal warga sudah merasa aman dari kegiatan ini,” begitu komentar beberapa warga.
“Saya duga, masih ada germo hasil didikan nenek Kiki yang diturunkan kepada seseoarang. Tapi siapakah dia?” ujar mang Malik.
“Siapa, ya?” yang lainnya menyahut.
“Ehmmm…” mereka terdiam sejenak.
“Tunggu. Sejak pembakaran rumah nenek Kiki, sampai sekarang, Dewi tak pernah muncul lagi di kampung. Bukankah Dewi itu yang dekat dengan nenek Kiki. Dia kan masih family dekat nenek Kiki?” kata mang malik.
“Di mana dia sekarang?” yang lain bertanya.
“Kalau tidak salah, Dewi tinggal di rumah Kosong tidak jauh dari rumah nenek Kiki?”
“Oh, iya. Benar. Pasti didikan nenek Kiki diturunkan kepadanya. Dan, dialah germo baru yang ada di kampung kita” kata bik Asna, yang dari tadi mengikuti percakapan itu.
“Maksudnya, Dewilah sekarang yang menjadi mucikari baru di kampung ini?” tanya mang Malik  meminta kepastian teman-temannya.
“Kalau bukan dia siapa lagi!” tegas bik Asna.
”Betul juga……” sahut yang lainnya.
Tidak hitung jam, kesimpulan itupun langsung menjadi pendapat umum warga sekampung. Cepat sekali beredar cerita itu. Dan, ini langsung menyulut kemarahan massa. Mereka seolah-olah menemukan musuh baru yang harus segera dilenyapkan.
Sekelompok laki-laki datang ke Tokoh masyarakat untuk meminta pertimbangannya mengenai kesimpulan mereka itu. Warga lain menyusul kemudian. Tapi mereka hanya di luar rumah tokoh masyarakat untuk menunggu hasil percakapan tersebut. Warga yang datang itu tampak sudah bersiap-siap mencari Dewi. Parang, pisau dapur, tombak, dan benda apa saja yang bisa memukul di tangan masing-masing orang. Bahkan ada dari warga yang membawa galon berisi bensin. Mereka seperti sedang bersiap-siap maju ke medan perang melawan musuh.
Percakapan perwakilan warga dengan tokoh masyarakat selesai. Mang Malik sebagai utusan yang akan mengumumkannya kepada warga yang sudah menunggu tak sabar di halaman rumah tokoh masyarakat itu.
“Saudara-saudara, kami sudah bercakap-cakap dengan para tokoh masyarakat dan ustad perihal adanya germo baru di kampung kita ini. ustad menyetujui tindakan kita untuk segera mengeksekusi Dewi, sebagai germo di kampung ini!”
Sorakan warga pun menggema menyambut pernyataan mang Malik. “Usir dia! Usir Dewi! Jangan kasih ampun lagi, Lenyapkan germo di kampung kita!” warga berteriak histeris sambil mengacungkan benda-benda tajam yang mereka bawa.
Mang Malik pun bertindak seperti panglima perang. Dibawah komandonya massa bergerak mencari Dewi di rumah kosong itu. Sesampai di rumah mereka langsung mengelilingi rumah tersebut yang sudah dipastikan Dewi ada didalamnya. Massa berteriak memanggil nama Dewi. Ada yang sudah siap menyiram sekeliling rumah dengan Bensin. Beberapa laki-laki lainnya secara hati-hati masuk ke dalam rumah.
“Dewi tidak ada di dalam,” kata seorang laki-laki yang ikut masuk ke dalam rumah setelah mereka memeriksa seisinya. Hanya ada ranjang rapi yang terlentang di dalam.
“Bakar saja rumah ini!” teriak warga.
“Iya, bakar saja! Bakar bakar bakar” sambut yang lain.
Warga yang membawa gallon berisi bensin sudah tahu tugasnya. Ia pun segera menyiram dinding dan atap rumah itu. Tak berapa lama, ketika api disulut, rumah yang dindingnya terbuat dari kayu dan bata merah itu terbakar. Asap hitam mengepul ke udara. Nyala api yang tiba-tiba membesar mengusir sekelompok burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon kopi di sekitarnya. Warga berteriak histeris, senang. Seperti ritual merayakan kemenangan warga mengeilingi rumah yang sementara terbakar itu. Mereka terus berteriak.
Sementara “ritual” berjalan, Surya, komandan Hansip kampung melaporkan kepada mang Malik, bahwa mereka melihat Dewi berada di dekat kali yang berjarak sekitar 100 meter dari tempat mereka berada sekarang.
“Dewi sedang berada di kali itu. Mari kita ke sana!” kata Surya.
Massa pun bergerak. Mereka berlari dan terus berteriak. Tak lama kemudian mereka mendapati Dewi dengan pedang di tangan kanannya sedang ketakutan. Agaknya dia sudah tahu bahwa dia sedang dicari massa. Tapi, Dewi tidak melarikan diri. Dia berdiri di dekat kali itu. Masih tampak rumput dan beberapa pohon kecil yang baru dia potong.
Jarak massa dengan Dewi tinggal kurang lebih 5 meter. Mereka hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang airnya mengalir dari kali itu. Untuk menuju ke tempat Dewi bediri massa harus melewati jalan setapak.
Dewi tampak ketakutan sekali. Tapi ia tidak bicara. Orangnya memang pendiam. Tapi dia dalam keadaan waspada. Pedang di tangannya di arahkan ke tanah. Sementara tangan kirinya tampak memegang kayu panjang berwarna hijau. Dengan ketakutan Dewi mengangkat kayu itu dan mengarahkan ke warga yang menghapirinya. Seolah ia ingin mengusir warga yang datang menghampirinya dengan mengangkat kayu hijaunya.
Tapi massa tidak takut atau tidak mau peduli. Mereka terus berteriak dan makin mendekat. Tokoh masyarakat yang berada di baris paling depan mencoba berkomunkasi dengan Dewi.
“Dewi, kamu harus pertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kami! Cepat serahkan dirimu!”
Meski warga telah berteriak-teriak marah, tapi Dewi tetap tidak bicara. Dalam keadaan takut dia masih berusaha “bicara” dengan mengacungkan kayu hijaunya kepada warga. Ia pegang erat kayu itu. Sambil sesekali dia menatap ke kali itu. Dengan mata yang melotot ia memandang ke warga.
Tapi belum satupun massa yang mengerti isyarat Dewi. Mereka bahkan menganggap Dewi orang sinting atau idiot. Massa pun semakin marah dan hendak mengejar dia. “Bunuh saja dia kalau tidak mau mengakui perbuatannya. Mari kita tangkap dia. Lenyapkan dia dari kampung kita!!” suara kemarahan itu terdengar dari antara massa.
“Benar. Kita bunuh saja dia!” Sambut massa yang lain.
Lima orang lelaki berbadan kekar melompat melewati jalan setapak itu. Dengan sikap hati-hati mereka mencoba mendekati Dewi. Tombak dan parang di tangan mereka. Dewi yang melihat gerakan mereka semakin ketakutan. Tapi dia tidak lari. Pedang yang dia pegang ditancapkan ke tanah. Kayu hijau itupun tetap dipegangnya. Para lelaki yang akan menangkap Dewi tidak mendapatkan perlawanan. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan Dewi. Dewi pun pasrah. Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha memegang kayu hijau itu.
Merekapun berhasil membengkuk Dewi. Massa yang lain ingin Dewi segera dieksekusi. Tapi tokoh masyarakat menolaknya. “Eksekusi nanti akan kita lakukan di kampung, di hadapan ustad dan para pemerintah kampung!” tegasnya kepada massa.
Massa segera menggiring Dewi ke kampung untuk dieksekusi. Seperti penjahat kelas kakap, Dewi diikat dengan rantai, mulutnya dibungkam dengan kain. Di sepanjang perjalanan massa berteriak-teriak senang seperti baru mendapat hewan buruan. Sampai memasuki kampung, sepanjang jalan mereka terus berteriak. Di kampung, para perempuan dan anak-anak di pinggir jalan menyaksikan dengan penuh perhatian arak-arakan massa itu. Dewi sebagai terdakwa ditarik seperti hewan. Sesekali wajahnya tampak kesakitan ditarik dan dicaci oleh massa. Namun, wanita yang berambut panjang dan berbaju seksi itu sepanjang jalan hanya diam saja. Kayu hijaunya masih tetap dipegangnya.
Di sebuah tanah kampung massa berhenti. Di situ Dewi akan dieksekusi. Rencananya dia akan diusir secara tidak hormat. Menurut tokoh masyarakat Dewi akan diikat di pohon pinang yang tertancap di tempat itu. Pohon pinang ini waktu tujubelasan dipakai untuk lomba panjat pinang warga sekampung. Seketika warga sekampung, dari anak-anak sampai kakek nenek telah berkumpul di tanah itu.
Sementara warga sibuk dengan persiapan untuk mengeksekusi Dewi, ustad dan pemerintah kampung datang ke lokasi itu. Mereka tampak terlibat percakapan serius dengan tokoh masyarakat. Ketika tokoh masyarakat bicara, ustad dan pemerintah kampung tampak mengangguk-angguk. Begitu sebaliknya. Agaknya, percakapan itu tinggal membicarakan teknis eksekusi, yaitu diusir secara tidak hormat. Soal alasan eksekusi mungkin menurut mereka sudah jelas, bahwa Dewi bersalah karena telah mengadakan kegiatan sek. Alasan ini sama dengan yang mereka pakai kepada nenek Kiki seminggu yang lalu.
Dewi, kini siap diesekusi. Tubuhnya telah ditelanjangi di pohon pinang. Warga yang mengitari tanah kampung itu tampak tegang menunggu waktu eksekusi.
Dan, setelah tokoh masyarakat selesai bercakap-cakap dengan ustad dan pemerintah kampung, eksekusipun akan segera dimulai. Menyambut eksekusi itu, pemerintah kampung menyampaikan beberapa kata.
“Saudara-saudara. Sudah ada dua kali kegiatan sek di kampung kita ini. Pelakunya sudah kita ketahui. “mucikari”, nenek Kiki sudah kita lenyapkan. Tapi masih juga ada kegitan sek. Ternyata, ilmu germo telah diturunkan kepada perempuan seksi yang sebentar lagi kita akan usir ini, yaitu Dewi…”
“Bakar dia! Lenyapkan mucikari dari kampung kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.
“Tidak, kita akan mengusir dia. Tidak boleh ada mucikari di kampung ini,” sambung pemerintah kampung. “Hari ini, kita akan mengusir secara tidak hormat mucikari yang telah meresahkan kampung kita. Ini menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mucikari. Tidak ada yang bisa lolos…”
“Huh…” sahutan warga yang tidak setuju dengan keputusan tersebut.
Setelah pemerintah kampong selesai berpidato, ustad diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa setan, seperti mucikari. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, robbana atina fiddun ya hasanah wa filahiroti hasanah wa kina azabannnar Amin.”
Dewi pun dengan mengelurkan air mata berjalan menjauh keluar dari kampung tersebut. Tak tahu mau menuju kemana hanya berharap pertolongan seseorang yang datang. Hendak hati ingin mengambil pakaian untuk pergi jauh dari kampung itu. Namun, ketika sampai dirumahnya tak ada sisa yang ada. Semua telah rata dengan tanah. Hanya warna merah menyala yang ada.
Kaki pun melangkah pergi jauh menuju arah yang tak pasti. Terdengar sautan dari sudut pohon besar. Dewipun kaget, ternyata hanya salah seorang warga yang memanggilnya. “Tunggu sebentar, ini mungkin bisa membantu kamu untuk kedepan” kata seorang warga tersebut. Ia memberikan bungkusan merah kecil ke Dewi.
“Terimah kasih banyak” ujar Dewi.
“Iya sama-sama, pergilah sebelum ada yang melihatmu” sahut warga tersebut.
“Masih ada juga yang peduli dengan kondisi diriku ini, sekali lagi terimah kasih banyak ya” tutur Dewi sambil mengalirkan air mata.
Tak lama kemudian warga tersebut hilang seakan ditelan bumi. Tak tahu kemana arahnya. Dewi ketakutan dengan cepatnya hilang warga tersebut. Ia pun melangkahkan kakinya dengan cepat.
Ia tak tahu apa isi bungkusan merah itu, tapi tetap ia terima dan membawanya pergi. Hingga kini warga tak ada yang tahu dimana Dewi berada. Apakah ia masih hidup atau sudah tiada diatas muka bumi ini. Hanya Allah yang tahu.


Setelah Kepergian Mucikari
Hari-hari warga terasa damai, aman nan tentram dengan kepergian dua mucikari. Wargapun semakin akrab satu sama lain. Dengan perginya dua mucikari itu warga merasa senang karena kampung mereka bebas dari kegitan sek. Tapi ada beberapa benak di warga yang merasa kasihan dan prihatin dengan perilaku mereka sendiri. Seakan-akan mereka menyesal dengan sikap mereka terhadap dua mucikari yang telah diusir dari kampung mereka.
Warga berfikir, seandainya mereka yang diusir seperti itu, bagaimanakah?? Mau pergi kemanakah?? Kan penghasilan sehari-hari hanya dari kampung ini saja.
“Tapi apa hendak dikata, itulah takdir. Kenapa juga ia mau menjadi mucikari, setiap perbuatan pasti ada balasannya” sahut mang Malik yang menghancurkan lamunan warga.
“iya juga ya. Kenapa juga ia mau menjadi mucikari, coba kalau ia tidak jadi mucikari, pasti ia masih ada di kampung kita ini.  kan dah tahu kalau perbutan itu dosa tapi masih aja dilakoni” sambut warga.
“Nah gitu kan enak, berfikir aja positif, jangan pernah menyesali perbuatan kita dengan hanya meratapi, tapi lakukanlah yang terbaik” ujar mang Malik.
“Itu adalah cerminan buat kita, jika melakukan perbutan keji maka akan ada balasannya, jika tidak sekarang, nanti atau kelak akan dibalas” mang Malik menambahkan.
Wargapun legah dengan ungkapan mang Malik tersebut, mereka kini tak mau lagi memikirkan kejadian yang telah menimpa kampung mereka. Mereka menjadikan semua ini sebagai pelajaran bagi diri mereka masing-masing. Cukup dua orang saja yang menjadi korban, jangan sampai menambah lagi.
Kehidupan wargapun hingga kini baik-baik saja, tak ada lagi perbutan-perbutan yang berbaur dengan sek. Peribadatanpun semakin hari semakin meningkat beriringan dengan berputarnya waktu. Hari menjadi minggu, minggupun berganti bulan, bulanpun hilang menjadi tahun. Perubahan warga menjadi drastic. Masjid yang biasanya diisi penuh dengan satu shap, kini lebih banyak lagi. Warga semakin hari semakin tekun untuk melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah.
Karena mereka sadar, dengan mendekatkan diri kepada Allah maka perbutan-perbutan tercela akan hilang dari dirinya.  Mereka tahu sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya.

Adik Penyebar Amplop Di Malam Hari


Ketika itu malam selasa, tiga setengah jam sebelum angka di kalender berubah baru, aku sempurna termakan bujuk rayu teman kosanku. “Ayyolah, coy…” kita keluar, Kan, besok aku mau pulang ke kampung? kita bikin acara perpisahan lah.”
Cuaca di dalam hatiku sebenarnya sedang buruk rupa. Supra fit, motor yang kumiliki dari orang tua, Sudah tak nyaman dibawa ngebut. Jadinya aku malas keluar. Apalagi malam-malam, sudah lepas isya pula, serta bukan untuk tujuan yang sifatnya “kudu/wajib”. Pun itu teman yang bernama Gugun, pulang ke kampung tidak untuk selama-lamanya. Cuma sebentar sekalian mengurus urusan kampusnya. Palingan seminggu sudah balik ke kos lagi.
Tapi lidahku terlalu berat untuk mengucap kata, “Nggak mau, ah! Males.” Bagaimana pun ia adalah teman yang lurus hati, tidak sombong. Sering melipurku dengan cara-cara yang kadang urakan na’udzubillah. Acap memancingku tergelak karena lirik lagu yang dipaksa nyanyikan tapi salah hampir seutuhnya. syairnya melenggang ke Jakarta, iramanya melancong ke Papua. Dan ia juga sosok yang paling setia menanyaiku, “Coy, udah makan belum?” Padahal bisa jadi, perutku ketika itu jauh lebih kenyang. Untuk itu semua, pantaskah aku mengatakan tidak? Meski dengan kalimat yang kupaksa indah semisal, “Maaf, bos, aku ingiiin sekali. Tapi aku tak bisa. Sedang ada tugas.
Tidak. Aku malu. Maka, kurelakan diriku terjaring bujuk rayu. Hingga jadilah kami keluar malam itu. Sebelum leluasa niat kulisankan, teman ku itu sudah punya usul duluan. Semena-mena haluan motor diputar ke arah Jl. Lampung Raya. “Coy, tempat biasa, ya. Makan nasi goreng kita.” Oh mengertilah aku. Rupa-rupanya ini tujuan “acara perpisahan” itu. Dia kangen sama Nasi goreng yang super murah.
Suasana terbilang riang. Jaring-jaring keakraban menjebak kami dengan bantuan potongan obrolan, dua gelas teh hangat, dan nasi goreng. Tengah asyik-asyiknya waktu kami habiskan, sesosok bocah perempuan tiba-tiba hadir. Ia dibalut seragam olah raga berwarna merah tua. Jilbab hitam pekat menutupi sebagian kepalanya tanpa alas kaki. Kulitnya hitam, pucat. Wajahnya adalah persekutuan antara ras India dengan aura Afrika. Dia mendatangi setiap meja dan meletakkan sepucuk amplop kosong.
Kuperhatikan tiap inci geraknya. Terlalu ringan untuk disebut canggung. Ketika ia menaiki anak tangga, aku merasa mengenalnya. Menurut laporan prosesor dalam kepalaku, anak itu adalah anak yang sama yang acap kulihat duduk menadah tangan di depan tangga Ramayana.
Kala kakinya menjangkau mejaku, mata kami bertabrakan. Aku memberinya senyum pasaran, dia menghadiahiku raut muka sungkan. Segegas dia terlihat hendak meninggalkan mejaku, selekas itu aku menahannya dengan tawaran, “Dek, mau ikutan makan?” Dia menatapku. Tawaranku dijawab dengan anggukan. Saat mulutnya terbuka, tampak gigi-gigi berbaris sewarna mentega. Dia lalu meletakkan badannya di sebelahku. Sengaja aku tidak memesankan nasi goreng untuknya. Pada pekerja warung kupesankan sebotol teh sosro dingin dan semangkok mie. Jeda antara pesanan tiba, kupakai untuk mengajaknya berbincang.
Dengan siapa Adik ke mari?” Aku mulai membuka kran. “Sendiri,” sahutnya tanpa menatapku.
Aku menelengkan wajah. Mengeja deretan huruf yang tercetak rapi di lengan baju trainingnya. Dan aksara-aksara berwarna putih itu mengabarkanku nama sebuah sekolah dasar negeri di daerah Lampung, Bandar Lampung.
“Dari Wayhalim?” Dia mengangguk. Kualihkan pandangan ke arah teman kosanku. Mereka mendelikkan mata. Sesuatu memelintir urat-urat dalam kepalaku. Jam di ponselku menunjuk angka 21.20 WIB. Jarak Wayhalim ke Jl Lampung Raya sekitar 10 km. Dan adik ini datang seorang diri untuk meletakkan amplop-amplop kosong di atas meja? Oh…
Saat-saat begini, aku paling sulit mempengaruhi lidahku untuk tidak berbicara. Berkompi-kompi kalimat keluar dan menyerang adik itu dalam wujud pertanyaan. Apa yang kemudian aku tahu adalah: Namanya Sari. Dia belum makan malam. Jika tidak tinggal kelas, saat ini harusnya ia duduk di kelas 4 SD. Meletakkan amplop-amplop kosong dengan gunungan harap akan diisi rupiah oleh orang-orang sudah jadi kegiatan rutinnya di luar sekolah. Ibunya satu dari sekian penjual gorengan jalanan yang berkeliling di komplek-komplek. Ayahnya sudah meninggal dan tak pun sempat ia kenali. Ia memiliki seorang kakak. Alat transportasi pulang pergi-nya adalah becak. Bukan carteran tapi. Dia asal naik saja. Ia kikuk dan berpikir agak lama sebelum memberitahu jumlah rupiah yang diperolehnya saban hari. Kisaran angka yang kemudian lahir dari rahim mulutnya adalah 30-70 ribu. Setiap malamnya, ia baru akan pulang ke Wayhalim pada jam 23.00 WIB. Itu pengakuan si adik padaku. Percayalah, tidak hanya aku yang mencatatnya tapi julangan pipet putih yang menancap di botol sosro dingin miliknya juga mendengar jawaban-jawaban itu.
Lalu kami gagu sejenak, memperhatikan si adik menyesap cairan teh melalui lubang pipet. Gugun mengangsurkan mangkok mie dan adik itu menariknya dengan gerak kaku. “Usah malu-malu.  Makan saja sesuka Adik. Nanti kita bayar,” aku menepuk pundaknya.
Baru saja Gugun siap memberi wejangan ala kadar berbagi semangat walau sekedar tentang sekolah dan  pengajian yang jangan pernah adik terpikir untuk tinggalkan, sesuatu di luar duga kami terjadi.
Seorang perempuan muda, kuterka usianya sekitar 24-an, masuk dari pintu warung. Jengkel mengental di wajahnya tapi coba ia encerkan dengan bersikap dingin. Bajunya kurung biru pudar. Kakinya diselimuti celana kulot biru tua dan jilbab kurung hitam sempurna melindungi kepalanya. Dia menyeret sandalnya setengah enggan.
Dipungutnya satu-satu amplop kosong yang sudah Dewi letakkan di setiap meja sambil mulutnya datar menggumam, Ngapain makan-makan di situ? Bukannya terus cari duit. Sariii… turun kemari atau kujambak rambutmu nanti!”
Dia terus meracau dan mengulang-ulang kalimat yang sama. Tapi kepalanya tertunduk dan suaranya rendah. Aku menerjemahkan bahasa tubuh itu sebagai wujud perlawanannya terhadap rasa marah agar tak seluruhnya tumpah.
Di sebelahku, Sari gegas menghabiskan minumannya. Duduknya tak lagi aman.
Sari pun turun sebelum perempuan itu sampai di tempat kami. Amplopnya direlakan tinggal. Dan amplop itu menjadi alat pancing bagi si kakak tadi untuk tetap naik ke warung bagian atas. Dia pun sampai di mejaku. Tapi aku dan teman kosku sudah kehilangan selera. Dia benar-benar menghindari tatapan kami. Mulutnya belum bungkam, masih mengulang kalimat tadi meski tahu kalau Sari sudah turun.
Ada yang ganjil dari gelagat perempuan itu. Dia tidak senormal sikap orang-orang yang lazim disebut normal. Meski aku bukan seorang psikolog dan tidak begitu gandrung membaca buku psikologi, tapi sedikitnya aku dapat mengindera ada yang tidak sepenuhnya beres dalam perkembangannya. Ekspresinya gasal.
Kami membayar apa yang harus dibayar. Lalu pulang, menandaskan malam yang disebut panjang di alas empuk pembaringan. Saat menyusun jalan kembali, aku tidak melihat Sari. Entah dia sudah pulang atau menunggu jarum jam sampai di angka 23.00 seperti penuturannya.

CARA MENAMPILKAN FORMAT TANGGAL DI MAIL MERGE MS WORD

Anda pernah menggunakan mail merge dalam pengetikan undangan atau apa saja yang menggunakan fasilitas mail merge? Jika belum silakan pelaj...